Suratkabar paling terkemuka di Kalimantan Selatan, yaitu Banjarmasin Post, hari ini menurunkan tajuk dengan tema pendidikan. Judul tajuk Banjarmasin Post edisi selasa 7 Mei 2013 ini berjudul: Kurikulum Baru, Masalah Baru. Berikut tulisan lengkap tajuk BPost hari ini: (tanpa foto)
Kurikulum baru pendidikan, tinggal dua bulan lagi. Tapi, persiapan ke arah sana, sungguh jauh dari apa yang diharapkan. Sarana dan prasarana yang menjadi pendukung keberhasilan model baru pendidikan nasional, masih jauh dari harapan. Bahkan, kita melihat sosialisasi kurikulum baru, masih minim alias kedodoran.
Toh, kalau bisa dikatakan, sosialiasisasi masih sebatas formalitas, dan hanya terlihat di sekolah- sekolah wilayah perkotaan. Sedangkan, jauh di ujung sana, di wilayah terpencil sosialisasi kurikulum nyaris tak terdengar. Pun, kalau sosialisasi telah dilaksanakan, tidak menjamin pemahaman yang optimal terhadap kurikulum 2013.
Rencana penerapan kurikulum 2013 mekar dengan harapan itu. Pendek kata, negeri ini ditargetkan mampu menjawab tantangan masa depan peradaban yang berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Pertanyaannya, mampukah kurikulum baru itu benar-benar bisa terimplementasi maksimal? Sementara dengan kurikulum lama saja, model pendidikan di negeri kita ini masih menyisakan persoalan yang tidak kunjung selesai.
Persoalan Ujian Nasional (UN), misalnya, masih menuai polemik yang tiada ujung akhirnya. Pelaksanaan UN yang baru saja dilaksanakan, memberikan gambaran kepada kita betapa ritual tahunan itu, tidak lagi sebuah tolak ukur kualitas pendidikan. Tapi, itu sebuah bisnis tahunan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu, dengan mengorbankan pendidikan.
Lantas sejauh mana kurikulum baru (2013) benar-benar mendesak untuk sesegeranya dilaksanakan? Padahal, kita semua sangat mengerti betul tumpukan persoalan yang dihadapi pendidikan di negeri ini. Persoalan sarana dan prasarana dunia pendidikan di negeri kita yang menurut logika sederhana, masih memerlukan perhatian ekstra lebih dari negara ini.
Baru-baru ini, seperti diwartakan Banjarmasin Post, sejumlah kepala sekolah di Kota Banjarmasin, kebingungan lantaran Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk rehabilitasi tidak kunjung cair. Padahal, dana itu diperlukan guna membenahi sarana fisik bangunan sekolah agar lebih layak sebagai wadah menuntut pendidikan. Celakanya, dari total dana DAK sebesar Rp 20 miliar yang sebelumnya diflot untuk rehab dan pembenahan fisik bangunan, dipangkas sebagian diperuntukkan untuk pengadaan buku kurikulum baru 2013.
Kita melihat betapa ketergesa-gesaannya langkah pemerintah pusat dalam memolakan sistem pendidikan di negeri ini. Sebagai anak bangsa, kita sangat mendukung sebuah sistem pendidikan yang memang secara benar bisa terefleksikan dengan baik. Yang kita lihat saat ini rencana penerapan model kurikum baru bak sebuah tanda baca yang absurd. Alih-alih menebar harapan, penerapan kurikulum baru itu telah memantik polemik -- yang (lagi-lagi) tiada berujung akhir.
Kalau boleh jujur kita katakan, muatan idealisme kurikulum 2013 sejatinya sangat kontradiktif dengan realitas praktik pendidikan di daerah. Para penggagas kurikulum baru menargetkan pada 2045 muncul generasi baru yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab. Sebagai strategi pendidikan, kurikulum 2013 diposisikan sebagai simpul kritis dalam proses konsolidasi demokrasi.
Kita melihat pengampu pendidikan mengedepankan demokrasi yang terinspirasi dari pengalaman Amerika Serikat yang memang menempatkan institusi pendidikan sebagai pilar utama demokrasi. Dengan kata lain, ide itu sengaja menempatkan anak didik dalam dua sisi peran, yakni sebagai warga negara penopang sistem demokrasi sekaligus sumber daya manusia pemutar sistem ekonomi.
Secara subtantif ide atau rumusan model seperti itu, tentunya sangat baik. Kita tidak memungkiri untuk jangka panjang, muatan rumusan itu bisa memberikan efek penting bagi sebuah model pendidikan modern di negeri ini. Tapi, sekali lagi, problematik pendidikan di negeri, bukan tergantung pada pola atau model yang menjadi pijakan. Kebijakan pendidikan nasional di satu sisi dengan kondisi riil infrastruktur pendidikan memiliki jarak berjauhan.
Sejujurnya kita belum melihat visi yang hendak dicapai kurikulum baru. Pasalnya, sekolah masih bergulat mempersoalkan teknis standardisasi dan evaluasi hasil pendidikan. Seharusnya persoalan ini dijernihkan dulu agar kurikulum 2013 tidak sekadar menjadi macan kertas.