Dalam legenda masyarakat Sunda, maung atau harimau tidak hanya simbol semata. Ada makna dan filosofi di baliknya. Legenda tentang harimau selalu diidentikkan dengan Prabu Siliwangi dengan Kerajaan Padjajaran. Sosoknya dianggap sebagai raja, pemberani, tegas, mengayomi rakyatnya, dan menghindari peperangan.
Dalam Pilgub Jawa Barat, tidak sedikit para calon memanfaatkan mitos ini. Calon pasangan yang lain saling mengklaim memiliki sikap yang sama seperti yang dimiliki Prabu Siliwangi. Cara-cara yang digunakan politisi itu tidak lebih dari pemanfaatan akan begitu kuat dan melegendanya kisah maung yang identik dengan penguasa tanah Sunda.
Maung atau harimau dalam kehidupan masyarakat Sunda adalah simbol yang sudah melekat dan familiar. Ikon harimau itu bahkan sudah menjadi legenda dalam masyarakat Sunda. Bahkan tidak sedikit yang percaya kalau harimau adalah titisan dari Prabu Siliwangi, raja yang pernah memerintah Kerajaan Padjajaran.
Dalam legenda masyarakat Sunda, Prabu Siliwangi adalah salah satu Raja Padjajaran yang dicintai rakyatnya. Dalam menata pemerintahannya Prabu Siliwangi tidak pernah memberatkan pajak hasil bumi dari rakyatnya. Demikian juga dalam kancah dengan kerajaan lainnya, Pajajaran disegani.
Namun, kekuasaan Siliwangi dan pesona Padjajaran meredup setelah masuknya Islam di Nusantara. Bahkan dalam legenda itu disebutkan, anak dan keturunannya juga masuk Islam. Dalam legenda akan maung itu, simbol itu berhubungan dengan menghilangnya Prabu Siliwangi setelah adanya serangan dari pasukan Islam dari Banten dan Cirebon.
Dalam legenda itu juga disebut, Prabu Siliwangi menghindari pertumpahan darah dengan anak cucunya yang sudah memeluk Islam. Maka Siliwangi beserta pengikutnya memilih untuk pergi bertapa ke hutan belantara hingga akhir hidupnya yang diikuti pengikutnya.
Hingga setelah bertapa sekian lama, Prabu Siliwangi berubah menjadi harimau atau maung.
Dari kisah itulah makna maung diartikan sebagai sikap pemberani, tegas, saling menyayangi sebagai bentuk laku hidup di dunia nyata. Itulah kenapa simbol maung dan filosofinya dalam masyarakat Sunda masih dipercayai.
Meski legenda itu terus hidup dan diturunkan ke setiap generasi, tidak sedikit juga ada kalangan orang Sunda yang mengkritik legenda itu. Salah satu pengkritik itu adalah Ajip Rosidi, salah satu sastrawan terkemuka dari Jawa Barat. Bahkan Ajip mencemooh legenda yang menyatu dengan mitos sebagai kisah yang tidak pernah memiliki bukti.
Hal itu diutarakan Ajip Rosidi dalam orasi ilmiahnya saat menerima gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran (Unpad), pada akhir Januari 2011.
Orasinya yang berjudul "Urang Sunda di Lingkungan Indonesia" mengkritik orang Sunda yang suka membohongi diri sendiri yang berpedoman pada mitos yang tidak memiliki bukti dan tidak rasional.
Dalam orasi ilmiah itu, Ajip mencontohkan masih kuatnya kepercayaan orang sunda pada mitos kemegahan kekuasaan Kerajaan Pajajaran dengan rajanya Prabu Siliwangi. Bagi Ajip, cerita itu tidak pernah ada buktinya, sebab hal itu hanya ada dalam dunia dongeng, mitologi, pantu, dan semacamnya.
Dalam orasi ilmiah itu, Ajip yang juga pernah sebagai Guru Besar Luar Biasa di Tenri Daigaku dan Kyoto Sangyo Daigaku, Jepang, pada 1983-1996 ini menguraikan dampak atas mitos itu. Menurut Ajip, kepercayaan atas mitos membuat orang Sunda enggan melakukan sesuatu karena percaya dengan pertolongan dari Prabu Siliwangi, padahal menurutnya, hal itu tidak pernah ada.
Dalam pemaparan pemikirannya saat itu, Ajip Rosidi juga meminta kesadaran orang Sunda perlu dibina dengan penuh kesadaran. Agar menyadari kalau orang Sunda hidup dalam lingkungan Indonesia, bukan sebagai keturunan Prabu Siliwangi yang akan mendirikan Kerajaan Padjajaran.
Ajip Rosidi menilai, warisan yang mestinya terus diturunkan kepada generasi Sunda adalah seni budaya, sastra, dan yang lainnya yang nantinya menjadi milik bangsa Indonesia dan dijaga bersama-sama.
Bagi Ajip, memajukan masyarakat Sunda adalah tanggung jawab Pemerintah Daerah Jawa Barat dan Banten. Ajip memberikan saran, agar kedua pemerintah daerah itu bisa menyediakan lembaga-lembaga pendidikan dan memberikan kesempatan kepada anak-anak Sunda untuk menyerap ilmu pengetahuan dan mengasah kemampuannya di semua bidang. (merdeka)