15.02
0

Boven Digoel adalah salah satu saksi sejarah bangsa Indonesia. Dimana di Boven Digoel, seorang bapak Proklamator bangsa Indonesia, Muhammad Hatta, diasingkan.

Boven Digoel, jaraknya sekitar 450 kilometer dari Merauke, jarak yang jauh me­mang. Jalan menuju ke Boven Digoel banyak yang sudah diaspal. Jembatan juga seba­gian sudah diperbaiki. Untuk menca­pai tempat bersejarah ini diperlukan waktu sekitar 10 jam.

Perjalanan ke Boven Digoel harus melewati kawasan Taman Nasional Wasur. Di sepanjang ja­lan, terlihat banyak pohon besar yang sudah berubah menjadi ru­mah rayap. Sebagian orang menyebutnya ale-ale. Para Traveller juga akan melewati Muting, sebuah daerah transmi­grasi. Secara perlahan-lahan, dae­rah ini ramai sejak 1980-an. Muting menjadi daerah persinggahan bagi kendaraan yang hendak ke Merauke atau Digoel.


Rumah bekas penjara di Boven Digoel.
Rumah bekas penjara di Boven Digoel.

Boven Digoel sendiri adalah daerah pedalaman. Sesuai arti katanya, yakni Boven berarti pedalaman. Untuk mencapai daerah yang per­nah menjadi tempat pembuangan bapak proklamator, Muhammad Hatta, ini kita harus menembus hutan belukar cukup lama. Sepan­jang perjalanan suasana sepi dan gelap. 

Di kantor Polisi Resort Boven Digoel, akan ditemukan banyak sel tahanan peninggalan kolonial Belanda. Ada sel yang ukurannya kecil, hanya untuk satu orang, untuk 3 orang, dan paling besar untuk 30 orang. Di ruang sel terbesar ini tersedia kakus.

Di komplek kantor polisi ini juga akan ditemukan beberapa gedung bekas kamp pembuangan. Semuanya sudah berubah fungsi. Ada yang menjadi kantor, rumah dinas, taman kanak-kanak dan tempat kegiatan belajar remaja Di­goel. Hanya ruang tahanan dan beberapa ruang lain saja yang tidak dimanfaatkan polisi.

Makam-makam penghuni sel yang meninggal disini, ada di Taman Makam Perintis Kemerdekaan. Taman Makam ini terletak di Kampung Wet, sekitar 2 kilometer dari Polres Boven Digoel. Untuk mencapai tempat ini, harus melewati perkampungan yang jarak antara rumah satu dengan lainnya cukup jauh. Kendati demikian, suasananya tidak sepi. Pagi-pagi orang Papua sudah ber-aktifitas.


Tugu Taman Makam Perintis Kemerdekaan.
Tugu Taman Makam Perintis Kemerdekaan.


Desain relief peng­hias tugu taman makam begitu unik. Karakter Papua yang hi­tam dan ekspresif begitu kentara. Terdapat sekitar 43 makam di pekuburan ini. Dar daftar nama-nama yang tertera, dapat di­pastikan, mereka adalah bekas ta­hanan kamp Digoel yang terkenal ganas itu.

Meninggal di Digoel, bisa ka­rena sakit atau terkena gigitan hewan buas seperti buaya, ter­masuk nyamuk malaria. Malaria adalah ancaman mengerikan di Digoel. Banyak penghuni tahanan terserang penyakit ganas ini, salah satunya Bung Hatta.

Kendati jauh dari hiruk pikuk ibukota, orang Papua bukanlah pemalas. Sejak mentari muncul di cakrawala, mereka sudah berak­tifitas. Mereka juga hidup seder­hana, tak berlebih seperti warga di bagian barat Indonesia yang selalu terpengaruh modernisasi dan bergantung pada uang. Orang Papua mencari makan hanya agar tidak lapar, sehingga tidak meru­sak alam demi rupiah. Orang-orang Papua asli sehari-hari hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek. Mereka juga banyak yang tidak mengenakan sandal saat berjalan kaki.

patung besar Mu­hammad Hatta di Digoel
Di depan kantor Polisi Resort Boven Digoelter terdapat patung besar Mu­hammad Hatta yang tengah menunjuk tanah. Patung itu seolah berkata, “kami pernah (dibuang) disini.” 

Sebuah peringatan bagi kita bahwa memperjuangkan kemerdekaan itu berat dan sakit. Mereka harus menjadi Di goelis (istilah untuk penghuni kamp tahanan Digoel). Gelom­bang pertama penghuni kamp adalah bekas pemberontak komunis 1926/1927 seperti M Bondan, Sukendar, Thomas Nayoan, dan lainnya. 

Gelombang berikutnya adalah kaum pergerakan yang takkalah berbahaya bagi pemerintah kolonial Belanda seperti Mas Marco Kartodikromo, Bung Hatta, Syahrir dan lainnya (Prioritas)