08.31
0

Ada yang menggunakan dana untuk menikah lagi, ada pula yang membeli mobil atau untuk keperluan konsumtif lainnya. Itulah gambaran cara guru-guru penerima tunjangan sertifikasi, menikmati uang tambahan dari pemerintah itu.


Guru Sertifikasi Perlu Diawasi?


Apakah terseret gaya gaul masa kini? Entahlah. Namun faktanya lagi, seorang anggota DPRD Banjar melihat seorang guru laki-laki yang memakai anting-anting emas di telinganya. Juga, ada guru perempuan yang rambutnya dicat hingga warnanya menyala.

Sejak adanya kebijakan pemerintah mengucurkan dana besar untuk menyejahterakan guru-guru, masyarakat kerap disuguhi kabar seputar persoalan tunjangan sertifikasi. Mulai uangnya yang seret diterima guru, dengan berbagai dalih dari dinas pendidikan, sampai pada tampilan gaul sebagian guru, seperti di atas.

Memang, tunjangan itu adalah pemberian dari pemerintah yang disetujui DPR. Tujuannya, meningkatkan profesionalisme guru.

Jadi, guru yang telah memenuhi syarat tak perlu lagi nyambi ngojek atau cari tambahan lain. Mereka fokus pada tugasnya. Dan, bisa menggunakan uang itu untuk beli barang untuk menunjang keprofesionalannya. Misal, beli motor, komputer atau laptop atau malah studi ke jenjang lebih tinggi.

Kenyataan, ada saja yang ‘merasa kaget’ menerima uang begitu banyak. Atau, guru yang sudah merasa hebat sehingga terserah dirinya menggunakan uang tunjangan itu untuk apa. Meski seringkali kepala daerah atau kepala dinas pendidikan mengingatkan agar menggunakan uang pemberian itu untuk menunjang profesionalitas, toh kasus serupa selalu terulang.

Yah, namanya juga uang pemberian, memang terserah yang menerima mau diapakan. Tapi sekali lagi, kasus serupa selalu muncul. Apakah hanya dibiarkan? Patutkah, misalnya, digunakan untuk kawin lagi, untuk selingkuh atau lainnya? Tak bolehkan masyarakat bertanya, tentang uang negara yang diberi digunakan untuk apa?

Jika begini, memang perlu ada pengawasan apakah uang tunjangan itu telah digunakan dengan benar atau tidak. Jika tidak, pengawas bisa segera mencari solusi. Lalu, yang mengawasi itu siapa? Kan uang itu sudah masuk kantong pribadi?

Setidaknya, atasan dari penerima tunjangan tak bisa lepas tanggung jawab untuk mengawasi. Hak mereka sebagai atasan, dalam hal ini kepala daerah, kepala dinas, juga kepala sekolah, untuk menuntut profesional. Termasuk, menuntut dalam hal sikap kepatutan seorang guru. Misalnya, apakah patut uang uang tunjangan untuk beli anting bagi guru pria? Atau untuk mengecat rambut agar tampak jreng, bagi guru perempuan atau hal-hal yang gaul?

Beban pengawasan itu memang lebih terasa di kepala sekolah. Sebab merekalah yang intens bertemu dengan si penerima tunjangan. Repotnya, kepala sekolah merasa punya banyak beban, sehingga lepas tangan. Pada titik inilah yang berpotensi memunculkan kasus, hingga ada guru laki-laki beranting emas dan guru perempuan dicat rambut terlihat anggota DPRD Banjar. Patutkah penerima tunjangan bersikap seperti itu? Profesionalkah?

Harapan masyarakat adalah pengawas dan penerima tunjangan sama-sama profesional. Siapa pun pengawas itu, apakah kepala daerah, kepala dinas, pengawas sekolah sampai kepala sekolah. Sebab, menyangkut uang negara dan hak untuk mendapat layanan pendidikan yang lebih baik.

Sedangkan penerima, memanfaatkannya untuk kepentingan yang lebih baik bagi dirinya dan masyarakat. Perlu diingat, tak sekadar baik, tapi memang lebih baik. Jika tidak, niscaya kasus serupa akan selalu muncul. (Koran BPost Cetak 19/3/2013)