Masyarakat Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki tradisi yang unik . Di tempat ini ada olah raga tinju adat. Itu sebagai ungkapan syukur atas hasil panen mereka kepada yang menguasai langit dan bumi.
Pada ritual tinju adat ini, petinju tidak dipersiapkan secara khusus. Berbeda dengan petinju profesional. Siapa saja pria dewasa yang ada di lokasi pertandingan bisa ditunjuk untuk bertarung. Juga waktu pertandingan. Setiap ronde tidak ditentukan oleh waktu yang pasti, melainkan oleh wasit.
Sarung tinju pun dibuat dari tulang belulang binatang serta barang tajam lainnya yang di bugkus dengan sabuk kelapa. Bentuknya tidak seperti sarung tinju biasa. Namun berbentuk sepotong kayu yang ukurannya segenggam orang dewasa.
Area tinju biasanya seluas halaman kampung. Sebagai pembatas keliling ring digunakan bambu. Umunya tinju adat ini berlangsung antara 2-5 menit, tergantung kekuatan petarung.
Etu dipimpin wasit yang jumlahnya biasa dua hingga tiga orang. Wasit dalam tinju etu biasa disebut seka. Selain wasit atau seka, ada petugas lain yang biasa disebut sike, yaitu petugas yang mengendalikan para petarung agar tidak membabibuta menyerang lawan.
Sike bisa dengan mudah mengendalikan petarung karena memegang sarung yang dikenakan petarung persis di belakang bagian pinggang.
Petugas lainnya adalah pai etu atau bobo etu. Mereka bertugas mencari petarung yang ada di sekitar arena pertandingan. Mereka berhak menarik siapa saja yang ada dilokasi pertarungan untuk naik ring.
Masyarakat setempat percaya bahwa luka petarung dalam ritual adat etu itu akan cepat sembuh. Petarung yang luka biasanya langsung menghadap kepala adat. Dengan sekali usapan luka petarung bisa langsung sembuh.
Setiap kali usai pertarungan mereka saling berangkulan. Itu lambang persaudaraan dan sportifitas. Mereka dilarang keras saling dendam dan bertarung di luar arena. Jika itu terjadi mereka akan mendapat musibah. (Metrotv)