Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Ujian Nasional (UN) tahun 2013 ini mengalami sejumlah perubahan. Mulai dari bertambahnya variasi soal yang sebelumnya hanya berjumlah lima, kini menjadi 20 variasi soal, hingga digunakannya sistem barcode pada naskah soal dan lembar jawaban UN (LJUN).
Dan ternyata bukan hanya itu, komposisi bobot soal juga berubah. Bila tahun lalu bobot soal mudah sebanyak 10 persen, sedang 80 persen, dan sulit 10 persen, tahun ini bobot soal sulit ditambah lagi 10 persen. Dengan penambahan jumlah soal yang sulit itu, maka komposisi bobot soal pada UN 2013 ini menjadi 10 persen soal mudah, 70 persen sedang, dan 20 persen sulit.
Mungkin banyak pihak mengkritik bahwa soal UN dinilai terlalu mudah. Ini dengan melihat hasil TIMMS (Trends in International Mathematics and Science Study) dan PISA (Programme for International Student Assessment) yang menyebut masih ada beberapa materi yang tidak diujikan dalam UN.
Kebijakan penambahan bobot soal sulit itu ditempuh bukan berarti pemerintah ingin banyak yang tidak lulus, tetapi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (kemdikbud) juga ingin meningkatkan grade peserta didik.
Apabila dengan penambahan soal sulit, hasil nilai UN tahun ini tetap lebih baik dibanding tahun sebelumnya. Dapat disimpulkan bahwa peserta didik telah mampu menjawab soal. Dan selanjutnya tidak menutup kemungkinan untuk tahun depan Kemdikbud akan menaikkan lagi persentase soal yang sulit.
Walau menginginkan peningkatan kualitas peserta didik melalui UN dengan menambah soal yang sulit, namun pihak Kemdikbud tidak serta merta langsung menaikkan jumlah soal yang sulit secara drastis.
Kemdikbud akan melihat hasil pada UN tahun ini dan jika peserta didik dapat melewatinya dengan baik, kemdikbud berencana akan meningkatkan terus bobot soal sulit ini.
“Kami tidak berani mengubahnya tiba-tiba dengan perbandingan 50 persen soal sulit dan 50 persen soal sedang dan mudah. Kami lakukan perlahan sambil mengukur dan menjajaki seberapa besar kemampuan anak-anak,” demikian penjelasan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Khairil Anwar Notodiputro (Kemdikbud)