08.00
0
Ketika Indonesia heboh diguncang ledakan politik berbau korupsi, warga dunia dikejutkan ledakan akibat tumbukan meteor di Chelyabinks, kawasan Siberia, Rusia, Jumat lalu. Lebih seribu orang cedera, dan 300-an bangunan rusak. Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) memperkirakan meteor itu hanya seukuran bus dan berbobot sekitar 10 ton. Namun, kekuatannya sangat dahsyat, 20 kali bom atom dan bola api yang ditimbulkannya terlihat sangat dramatis.

Meteor ini masuk atmosfer Bumi pada pukul 09.20 pagi waktu setempat dengan kecepatan ribuan kilometer per jam dan meledak di ketinggian 30-50 kilometer. Bisa dibayangkan jika benda langit ini jatuh di sekitar kawasan padat penduduk, apalagi kalau persis di perkotaan. Dampaknya mungkin bisa seperti akibat tsunami Aceh, atau bahkan lebih mengerikan lagi.

meteor di rusia
Ilustrasi


Benda langit jatuh menusuk bumi bukanlah hal istimewa. Saban hari ratusan, mungkin ribuan benda sejenis itu menghujani planet kecil di tengah tata surya kita. Sebagian di antaranya hancur saat menerobos atmosfer - yang sekaligus jadi perisai- bumi. Sebagian lain, karena ukurannya demikian besar lolos dari lapisan-lapisan atmosfer dan membuat kerusakan hebat di bumi. Banyak yang berkeyakinan, era dinosaurus jutaan tahun silam selesai akibat tabrakan meteor seperti ini. Para ilmuwan Geological Survey of Denmark yang melakukan penelitian menemukan kawah bekas tumbukan meteor diperkirakan terjadi tiga juta tahun lalu.

Lebar kawah itu mulanya diperkirakan sekitar 500 km. Berdasarkan perhitungan, kawah tersebut terbentuk oleh meteor berukuran lebar 19 km. Jika meteor itu jatuh di bumi saat ini, diperkirakan semua makhluk hidup akan musnah.

Peristiwa di Siberia ini tentu saja mengingatkan kembali warga dunia bahwa semesta raya (langit dan seisinya) terdiri atas bermiliar-miliar gemintang berikut benda-benda yang melengkapi sistem tata surya . Galaksi tempat bumi berada, cuma satu di antara entah berapa juta atau miliar sistem tata surya di alam semesta.

Bumi, yang penduduknya mengenal konsep waktu lewat kepatuhan jadwal edar sang bumi terhadap matahari, cumalah setitik zarah (benda paling kecil) dalam konteks alam semesta. Sepanjang abad keempat sebelum Masehi, Aristoteles dan Epicurus berbeda pendapat tentang keberadaan 'dunia' lain dan penghuninya selain bumi.

Pertanyaan ini masih belum terjawab selama 2.000 tahun, hingga kini. Para ahli selama ini hanya tahu bahwa matahari merupakan sebuah bintang di antara 100 miliar benda langit lainnya --yang sudah terperikarakan- dalam langit semesta. Padahal, pada mulanya langit dan bumi adalah satu yang kemudian dipisahkan, kemudian segenap benda hidup dijadikan dari air (Al-Anbiya -30). Ini bisa saja ditafsirkan, ada 'bumi' lain di jazirah antariksa langit yang tanpa batas itu.

Beberapa waktu lalu para ahli astronomi di Observatori Lick dekat San Fransisco, menemukan sistem tata surya di luar yang kita kenal selama ini. Sistem tata surya yang baru ditemukan itu terdiri atas tiga planet raksasa yang mengorbit bintang yang mereka namai Upsilon Andromedia, planet paling dekat dan paling terang di kaki langit yang berjarak 44 tahun cahaya.


Jika pada malam hari penduduk bumi menengadah ke langit dan kebetulan melihat gugus bintang, mungkin saja yang disaksikan itu sesungguhnya pancaran cahayanya 44 tahun lalu atau bahkan mungkin 1.000 tahun lalu jika diukur dengan rentang waktu versi manusia bumi. Peristiwa di Siberia Jumat lalu, kembali menyentak kesadaran bahwa betapa kecilnya planet bernama bumi ini. Jika bumi sedemikian kecil dalam konstelasi alam semesta, apalagi penduduknya. Karena itu penduduk bumi sangat tak patut berpongah diri, berbesar kepala, dan mengagungkan diri sebagai paling berkuasa.


Sumber Banjarmasin Post edisi Cetak Senin18 Februari 2013