Kisah para ulama di pesantren, di pakistan, Bagaimana dulu mereka mengutamakan mata
pelajaran tazkiyah bagi para santrinya. Ada seorang ulama mempunyai anak
laki-laki, dia berkeinginan anaknya bisa lebih sholeh dan lebih alim dari dia.
Walaupun ulama ini mempunyai pesantren, tetapi dia lebih memilih anaknya ini
dikirim ke pesantren lain, karena dia berpikir kalau anaknya belajar di
pesantrennya sendiri maka akan menjadi manja, tidak mau susah payah. Si ulama
khawatir jika dikirim ke pesantrennya sendiri maka tidak akan ada mujahaddah.
Maka si anak ini dikirim oleh ulama ini ke pesantren kawannya sesama ulama
supaya ada pendidikan khusus agar bisa lebih alim dari beliau dan supaya lebih
paham agama dari beliau. Ketika dia masuk ke pesantren, ayahnya si ulama,
memberi nasehat bahwa apapun yang diperintahkan oleh gurunya nanti ikuti saja,
jangan banyak bertanya dan jangan dibantah, walaupun kamu belum bisa mencernanya
dengan pemikiran, jalankan saja.
Setelah masuk ke pesantren, si anak ini tidak
langsung diajarkan ilmu agama, tetapi diperintahkan untuk berkhidmat di dapur
pesantren. Di dapur si anak ini mencuci piring, memasak, memotong sayur, menyediakan masakan, tidak
diajarkan kepada anak ini walaupun satu alif pun. Anak ini dengan tekun dengan
ikhlas dia jalankan perintah gurunya berbulan-bulan, tidak ada mengeluh, di
dapur untuk khidmat, tidak mempelajari Quran dan Hadits. Si anak ini taat dan
selalu inget pesan ayahnya bahwa apapun yang diperintahkan laksanakan saja.
Setelah melihat kepatuhan anak ini menjalankan perintahnya, tidak mengeluh dan
ikhlas menerimanya, maka si ulama pemimpin pesantren memanggilnya. Si ulama
pimpinan pesantren berkata, “Wahai anakku, Kamu sudah khidmat di dapur, bekerja
dengan baik, sekarang kamu pindah dari dapur untuk berkhidmat pada WC umum.”
Namun WC jaman dulu beda dengan WC jaman sekarang. Dulu WC pakai periuk untuk
buang air kecil dan air besar. Jadi untuk membersihkannya dia bawa periuk
kotoran itu di kepalanya ke suatu tempat untuk dibuang lalu dibersihkan. Setiap
pagi inilah rutinitas yang dilakukan si anak ini dalam waktu yang sangat lama
tanpa diajarkan satu alifpun.
Setelah sekian lama si anak berkhidmat seperti
itu, akhirnya gurunya memanggil. Si guru berkata, “Anakku kamu sudah berkhidmat
di dapur, lalu berkhidmat di wc, sekarang kamu akan ditugaskan sebagai istiqbal,
menjaga didepan pintu pesantren, menerima tamu2 pesantren. Sekarang kamu harus
berpakian yang bersih dan rapih tidak seperti pakian yang kamu pakai waktu di
dapur ataupun ketika khidmat wc.” Maka mendengarkan perintah ini, sama si anak
langsung dijalankan, berpakian rapi, menunggu di depan gerbang sebagai istiqbal.
Ketika si anak ini sedang bertugas, si guru ini memanggil salah satu santri yang
bekerja di khidmat WC. Si guru berkata kepada si santri yang berkhidmat di WC
tersebut, “kamu tau anak itu.” Si santri bilang, “Tau stadz.” Si guru berkata,
“Nanti ketika kamu bawa periuk kotoran untuk dibersihkan dari wc, kamu bawa
periuk itu kedepan dia sehingga periuk itu melewati hidungnya dengan jarak yang
dekat sekali. Nanti kamu laporkan kepada saya apa reaksinya.” Mendengar perintah
ini si santri besoknya lansung dilaksanakan perintah Ustadznya. Dia bawa periuk
wc itu tadi dan dilewatkan kedepan hidung si anak tersebut. Namun si anak
tersebut tidak ada reaksi marah atau gaduh ketika periuk itu dilewatkan secara
sengaja ke hidungnya. Si santri lapor ke stadnya bahwa tugas sudah dilaksanakan,
tetapi si anak tidak memberikan reaksi apa-apa, biasa saja. Si Ustadz berkata,
“Bagus, besok kamu lakukan lagi, tapi kali ini kamu pura-pura tersandung lalu
percikkan sedikit saja kotoran itu tadi kebajunya. Nanti apa sikap dia kamu
laporkan kepada saya.”
Besoknya si santri jalankan perintah si ustadz
tadi. Si Santri jalan di depan si anak tadi lalu dia pura-pura tersandung lalu
terperciklah sedikit kotoran ke baju anak itu. Namun si anak bukannya marah
malah minta maaf, bahwa ini salah dia, tidak seharusnya dia menghalangi jalannya
si santri yang bawa periuk kotoran tersebut. Maka dilaporkanlah kejadian
tersebut kepada si ulama pimpinan pondok pesantren. Si Ulama bilang, “Bagus,
besok kamu lewat lagi kedepan dia kali ini, pura-pura kesandung, lalu tumpahkan
seluruh isi periuk kotoran wc tadi ke badan dia.” Besoknya dia jalankan perintah
si pimpinan pondok pesantren tadi, dia jalan pura-pura kesandung lalu
ditumpahkan periuk kotoran tadi seluruhnya kebadan si anak yang sedang istiqbal
tersebut. Namun apa reaksi anak tersebut ? itu anak bukannya marah malah
menangis, dia berkata, “Apa saya ini terus-terusan berbuat salah ? kemarin saya
mengganggu jalan saudara, hari ini juga begitu, kenapa saya gak
belajar-belajar.”
Maka dilaporkanlah kejadian ini pada si ulama
tersebut. Kali ini si ulama memanggil si anak tersebut, “Wahai anakku, kamu
sudah khidmat di dapur, sudah khidmat di wc, dan sudah khidmat di istiqbal,
sekarang ada tugas masih khidmat juga, yaitu mencari daging.” Kalau dulu yang
namanya mencari daging yaitu dengan berburu ke hutan. Jadi si anak ini berburu
ke hutan dengan membawa anjing pemburu. Caranya dia disuruh memakai ikat
pinggang yang kuat yang di ikatkan kepada 6 ekor anjing. Waktu pergi kehutan si
anjing mencium bau daging binatang buruan maka si anjing berlari sehingga si
anak yang kecil ini badannya terbanting-banting badannya. Si anak tersebut
terseret kesana kemari karena kuatnya tarikan anjing-anjing pemburu, sehingga
dia pulang ke pesanten dalam keadaan babak belur. Si Ulama pimpinan pondok
pesantren bertanya, “Gimana berburunya di hutan ?” si anak menjawab,
“Alhamdullilah baik, semuanya lancar tidak ada masalah.” Si anak tidak mengeluh
apapun kepada gurunya, bahkan mengatakn semuanya baik-baik saja, padahal dia
babak belur. Setelah kejadian ini si ulama pimpinan pondok memeluk anak itu, dan
berkata, “Wahai anakku kamu sekarang sudah punya modal untuk belajar agama, kamu
boleh pulang, mau belajar disini, atau ditempat lain, ataupun di pesantren
ayahmu, silahkan saja, karena kamu sudah ada modal untuk belajar agama.”
Maksudnya apa ? si anak ini sudah punya modal belajar agama yaitu kesabaran dan
ketabahan.
Kalau kita mempunyai sifat seperti itu maka
Nur Quran dan Hadits akan mudah masuk ke hati kita. Tapi kalau kita ingin
asik-asik dan senang-senang inilah yang menyebabkan susahnya kita memahami
daripada Al Quran dan Hadits, sehingga susah membawa kita kepada pengamalan,
apalagi kepada penghayatan.Balik mengomentari cerita tadi kenapa terakhir ini
anak disuruh berburu dengan membawa 6 ekor anjing yang banyak hingga dia babak
belur terbawa kesana kemari. Ini karena si anak ini adalah calon ulama. Ulama
itu akan mengayomi masyarakat, sedangkan keinginan masyarakat itu berbeda-beda,
yang satu mau begini, yang satu mau begitu. Jadi ulama-ulama itu harus siap
babak belur, supaya masyarakat bisa menerima mereka, tidak memihak kepada
siapapun, karena ulama ini calon pimpinan. Demikian orang-orang terdahulu
belajar agama tidak dengan senang-senang, tetapi dengan mujahaddah. Ketika kita
membuka riwayat hidup imam-imam besar seperti Imam Bukhari, Imam Muslims, Imam
Syafei, Imam Hanafi, Imam Hambali, dalam hidup mereka mempelajari agama penuh
dengan mujahaddah, baru Allah Swt berikan kemuliaan pada mereka menjadi Imam,
dan pemahaman atas agama.